Friday, February 04, 2005
Reaksi standar saat orang mendengar pekerjaan saya adalah:
1. Mengerutkan kening
2. Trus nanya kamu kerja di showroom mobil apa?
jawaban: Bukan di showroom mobil kok
Tanya lagi: Jadi di showroom apa dong?
Jawaban: Saya kerja di bank
3. Oh di bank..yang teller atau CSO?
Jawaban: Bukan di frontliner
4. Oh..pasti marketing yah?
Jawaban: Iya deh..(dengan perasaan lelah)
Well, saya memang dealer, tapi bukan kerja di dealer mobil, rumah, atau dealer2 apapun itulah. Saya adalah orang yang melakukan deal, makanya dibilang dealer. Apa yang saya deal? Yang saya deal adalah kurs harga valas.
Saya dan beberapa temen saya melakukan deal dengan nasabah, bekerja sama dengan sekelompok teman2 saya yang melakukan deal di pasar (pasar uang tentunya, dan bersifat maya karena hanya terhubung dengan jalur telepon).
Prinsipnya seperti pedagang ritel dan distributornya gitu, jadi distributor menyalurkan barang sesuai permintaan dari pedagang ritel, trus pedagang ritelnya jual ke pelanggannya. Atau sebaliknya, pelanggannya bisa jualan ke pedagang ritel, dan sebagai gantinya pedagang ritel bisa menyalurkan ke distributor untuk dijual di pasar.
Nah saya adalah pedagang ritelnya itu atau yang lebih umum disebut Corporate Dealer. Rekan2 saya yang jual atau beli di pasar adalah si distributornya atau biasanya disebut Interbank Dealer. Sesuai dengan konteksnya, udah pasti dong yang diperdagangkan adalah valasnya sendiri (US Dollar dan mata uang asing lainnya).
Ruang kerja saya biasa dibilang Dealing Room , karena yang didalam ruangan itu kerjanya emang cuma deal aja, bentuknya seperti akuarium raksasa, karena dikelilingi oleh kaca. Suasananya sudah pasti kaya pasar pada umumnya, apalagi kalau harga lagi bergerak2, akan tercetus makian2, teriakan2 ceria atau stress, sehingga mau nggak mau supaya suara kita kedengeran, memang harus bersuara keras (dengan tingkat desibel diatas rata2 orang pada umumnya lah!).
Buruknya, kebiasaan itu suka kebawa2 ke kehidupan sehari2, maksudnya bersuara keras, padahal gak penting..he3x. Satu lagi, karena kebetulan beberapa nasabah kami India, Singapore, yah..orang asing lah, mau gak mau kita jadi sering juga berbahasa bule. Alhasil, kita jadi sering ngomong dengan bahasa yang setengah2, half inggris setengah lagi Indonesia (tuh kan..aduh maap ya, dah kebiasaan!).